Jumat, 06 Agustus 2010

JANG JAWOKAN/AJIMANTRA DALAM KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

Adakah daintara kita yg pernah mendengar,bahkan tau dengan kata JANG JAWOKAN?? sedikit akan saya coba ulas mengenai jang jawokan menurut sepengetahuan saya dan beberapa informasi yg pernah saya dapat. semoga ulasan ini bisa bermanfaat dan menambah perbendaharaan kita mengenai budaya indonesia khususnya budaya sunda.
JANG JAWOKAN adalah suatu bacaan mantra,jampi, asihan, singlar, jangjawokan, rajah, ajian, dan pelet yg ada dalam budaya masyarakat sunda.
pertam kita ulas dulu kata MANTRA :perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya);susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.MANTRA dibagi menjadi 7 bagian yaitu jampe jampi, asihan pekasih, singlar pengusi, jangjawokan jampi, rajah ‘kata-kata pembuka jampi, ajian ,ajian/jampi ajian kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna. ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic dan mantra hitam black magic.adapun pembagian tersebut berdasakan maksud dan tujuan mantra itu sendiri, mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan.

Adanya pembagian antara mantra putih (white magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.

Keberadaan mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra.

bagi masyarakat penghayat mantra dalam setiap kegiatan atau keseharian mereka kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud. Misalnya, para petani ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
contoh contoh AJimantra Atau jang jawokan :
Rarakan Nyi Pohaci
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.

Secara simbolik, benda-benda yang disebutkan merupakan perwakilan dari hakekat manusia yang senantiasa harus menjalani hidup dengan dibekali iman yang kuat.

Fungsi lain yang menyiratkan adanya permohonan kepada Sang Pencipta, tampak pada sejumlah mantra kekuatan, begitu erat dengan kebutuhan hidup masyarakat yang dalam satu segi membutuhkan kekuatan lahir maupun batin untuk melaksanakan maksud tertentu. Semua mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka tinggal menunggu keputusan dari Yang Maha Menentukan atas usaha yang dijalankan manusia. Betapa manusia merasa kecil dan tak berdaya sehingga memohon dilindungi, ditopang, diberi kemurahan pada setiap langkah, mohon ditetapkan iman dan Islam. Begitu juga dengan mantra kekuatan lainnya, dengan berbekal keyakinan dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, mantra diucapkan untuk tujuan keunggulan, agar disayangi, agar segala perbuatan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, agar perkasa, awet muda, untuk menaklukan siluman, dan lain-lain. Salah satu contoh mantra kekuatan yang termasuk ke dalam
pelet ‘guna-guna’ dapat dilihat dalam contoh berikut ini

Pelet
Bismillah
Kum awewe
Wataji kulhu absar
Wahuwa Latiful Khabil
Sabulan sang ratu nu colalang
Sabulan mangrupi
Dua putri mananjo
Tujuh bulan kolot
Salapan bulan sang goledah
Gereleng putih
Jig ka cai ngadon ceurik
Jig ka darat ngadon midangdam
Jig ka imah asa jobong koong
Kop cai asa tuak bari
Kop dahar asa tatal bobo
Kaula nyaho ngaran sia…si…….

Asihan
Samping aing kebet lereng
ditilik ti gigir lenggik
diteuteup ti hareup sieup
mikaeunteup mikasieup
mangka eunteup mangka sieup
ka awaking
awaking ratu asihan
ti luhur kuwung-kuwungan
ti handap teja mentrangan
ditilik ti tukang lenggik
di tilik ti gigir sieup
mangka eunteup mangka sieup
asih…asih… asih….
asih ka badan awaking

contoh jampi jampi biasa dipergunakan dalam keseharian dalam permohonan doa, untuk pengobatan dan lain sebagainya :
Jampe Beunghak Beuteung
Cakakak di leuweung
Injuk talina
Dihakan dibeuweung
Hitut jadina
Plong blos plong blong………
jampe2 diatas contoh jampi2 yg digunakan untuk pengobatan dalam jampi2 tersebut diatas menggambarkan permohonan doa untuk pengobatan perut yg kembung.
lalu contoh lain jampi jampi yg sering digunakan sehari hari yaitu:

Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup

Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.

Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini :

* Jampe Nyimpen Beas


* Mangga Nyi Pohaci
* Nyimas Alame Nyimas Mulang
* Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
* Abdi ngiringan
* Ashadu sahadat panata, panetep gama
* Iku kang jumeneng lohelapi
* Kang ana teleking ati
* Kang ana lojering Allah
* Kang ana madep maring Allah
* Iku wuju salamaet ing dunya
* Salamet ing akherat
* Asahadu anla ila haileloh
* Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
* Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
* Nyanggakeun sangu putih sapulukan
* Kukus kuning purba herang
* Tuduh kang seseda tuhu
* Datang ka sang seda herang
* Tepi ka kang seda sakti
* Nu sakti neda kasakten
* Neda deugdeugan tanjeuran

Contoh lainnya,

* Jampe Ngisikan (mencuci beras) :

* Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
* Geura siram dibanyu mu’min
* Di Talaga Kalkaosar
* Abdi ngiringan
* Nyi Pohaci Budugul Wulung
* Ulang jail babawaan kaula
* Heug
*
* Nyi Pohaci Barengan Jati
* Ulah jail kaniaya
* Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
* heug
Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.

Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.

Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga.


Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.


Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :


Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan”.


Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).


Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib”.

Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.


Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.


Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.


Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer


Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….


Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.


Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang Sunda Buhun terhadap ‘Trias Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya “Urang Sunda” akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.


Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.


Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda – Agama dan kepercayaan :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri.


Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh - khas. Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti dibawah ini.


Sawer Panganten :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.


Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah – Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat – Sifat – dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi arkais.


Contoh lainnya do’a untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :


Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :

Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?.


Saya justru menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheung”.


Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.


Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.


Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.


Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.


Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.


Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.


Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.


Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :

1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.

dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.

berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.

masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.

adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.

terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.

Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.


Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.


Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :


Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.


Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak”nu dipasamoan’.


Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :



Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing ..........


Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.


Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.


Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin


Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.


Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahkan.


Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.


Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.


Pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang ‘menginginkan’ sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :


Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking


Atau :


Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking


Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.


Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :


Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….

Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan ……dst”.


Saya menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh kentel peujit’. Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.


Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh ‘urang sunda buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.


Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam ‘penegasan perintah untuk dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :


Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan


Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.


Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathin, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.

1 komentar: