Rabu, 29 September 2010

Gentra Madya practice Nano S.


Almarhum Seorang Guru yang Jadi Panutan
Seniman dan Budayawan Kehilangan Nano S
BANDUNG, (PRLM).- Kepergian Nano Suratno atau Kang Nano S. (66), Rabu (29/9) malam sekira pukul 23.15 WIB saat menjalani perawatan di ruang Paviliun ICU RS Immanuel, meninggalkan kesan sangat mendalam bukan hanya bagi para seniman maupun budayawan di Kota Bandung maupun Jawa Barat. Keluarga besar SMKN 10 (sebelumnya Kokar kemudian menjadi )SMKI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, juga merasakan kehilangan yang teramat sangat atas kepergian Maestro Seni Tembang dan Karawitan Sunda tersebut.
“Sosok Kang Nano selama ini oleh masyarakat luas hanya sebagai seniman pencipta lagu dan seni karawitan. Namun bagi kami dilingkungan SMKN 10, sosok Kang Nano lebih dari seorang guru ataupun pendidik yang memberikan ilmu pengetahuan seputar kesenian Sunda. Tapi lebih dari itu, Kang Nano juga memberikan suritauladan tentang bagaimana menjadi seorang seniman seutuhnya yang tidak bergantung pada pemerintah,” ujar Mas Nana Munajat, salah seorang staf pengajar di SMKN 10 Bandung yang dalam beberapa garapan karya panggung Kang Nano turut membantu.
Dikatakan Mas Nana, salah satu petuah yang sering diingatkan kepada anak didiknya adalah sebagai seniman harus memiliki ciri tapi jangan melupakan seni tradisi titincakan. Hal lain yang juga sering diingatkan, sebagai seniman (tradisi) jangan hanya berharap dari pemerintah, apalagi jadi seniman proposal yang berharap bantuan.
“Karena kalau menunggu pemerintah apalagi proposal mau sampai kapan menjadi seniman dan menghasilkan karya. Kalaupun mendapat bantuan dari pemerintah, karya yang dihasilkapun tidak akan murni karya sendiri karena pasti ada keinginan dari si pemberi biaya,” ujar Mas Nana.
Sementara itu Adjie Esa Poetra, yang sempat bertemu Kang Nano seusai pulang mengikuti International Gamelan Festival Amsterdam (IFGA) 2010, bukan hanya kehilangan teman berbagai ilmu dan pengalaman, juga kehilangan seorang guru dan panutan. “Karenanya, saya berharap ratusan karya Kang Nano dapat dilestarikan, bahkan saya akan berupaya untuk mewacanakan pembuatan museum karya Kang Nano. Sayang kalau sampai hilang dan dilupakan,” ujar Adjie Esa Poetra.
Sejumlah karyawan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, menilai Kang Nano saat menjadi Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya (2000, saat BPTB dibawah Kanwil Depdikbud) sebagai sosok pemimpin yang konsen terhadap apa yang sudah di programkan dan harus dilaksanakan. “Sebagai cikal bakal taman budaya di tanah air, Kang Nano mampu menjadikan Taman Budaya Jawa Barat turut andil dalam melestarikan seni budaya tradisi serta memperkaya khasanah budaya tanah air,” ujar Gunawan, salah seorang staf di BPTB Jabar.
Kepergian Kang Nano juga dirasakan Kang Teteng salah seorang tukang becak yang tidak jauh dari rumah Kang Nano di Jalan Moh Toha no. 352 Bandung. “Jigana kapayun mah moal aya deui naros sabari ngelingan dibarengan ku seuri jeung dariana,” ujar Kang Teteng, mengungkapkan keramahan Kang Nano meski sudah menjadi seorang seniman besar tapi tetap menyapa orang kecil seperti dirinya

Seniman Musik
Nano S


Lahir di Garut, Jawa Barat, 4 April 1944. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961) yang ketika itu dipimpin Daeng Sutigna. Setelah tamat, ia mengajar di SMP 1 Bandung dan kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan STSI Jurusan Karawitan Sunda sampai selesai.

Tahun 1964, bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, namun beberapa tahun kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972). Banyak menciptakan lagu karawitan Sunda, di awal masih memperlihatkan pengaruh gurunya, Mang Koko, tetapi kemudian mulai memperlihatkan cirinya sendiri. Jika Mang Koko, gurunya, mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat, Nano juga, tetapi di samping itu seakan-akan menertetawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu. Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut Prakpilingkung (keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia 1 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, Sang Kuriang mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi pengembangan.

Pernah mendapat beasiswa fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo), untuk mempelajari perbandingan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara alam musik Kecapi dan Koto. Selain itu, ia juga belajar meniup Sakuhachi dan memetik Shamisen, yang kemudian membuat kolaborasi alat-alat itu pada ciptaannya dan membuat beberapa lagu karawitan Sunda yang berbahasa Jepang, diantaranya Katakana Hiragana Uta, Ueno Koen dan D'enshano Uta (1981-1982). Pernah di undang oleh departemen musik Universitas Santa Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam Spring Performance (1990).

Keprofesionalannya dalam dalam kesenian Sunda semakin terbukti ketika ia di minta oleh Min on, impresario, sebuah kelompok kesenian Jepang yang besar, untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda di berbagai kota di seluruh Jepang selama 40 hari dengan 22 kali pertunjukan. Pertunjukan ini mendapat sambutan antusias karena keindahan yang di tampilkan dengan disiplin yang tinggi (1988). Pertunjukan itu dimintaa untuk diulang lagi berkali-kali untuk tampil dikota-kota lain.

Popularitasnya semakin menanjak setelah album-album rekaman kasetnya banyak diminati oleh masyarakat, diantara Kalangkang (Bayangan 1989), Cinta Ketok Magic (1992), yang meledak di pasaran sehingga mendapat HDX Award tingkat Nasional. Meskipun lagu-lagu ciptaannya berjenis karawitan, namun dengan cepat memperoleh penggemar di seluruh Indonesia, bukan hanya dari kalangan orang sunda saja, apalagi setelah lagu-lagu itu dijadikan pop Sunda. Selain itu, Ia juga membuat lagu untuk Gending Karesmen bersama Wahyu Wibisana, Raf, dll. Gending Karesmen ciptaannya antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecit, 1 Syawal di Alam Kubur, Perang, dll.

Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah di muat dalam majalah Mangle, Hanjuang, dll. Cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Nu Baralik Manggung (Yang Pulang sehabis mengadakan pertunjukan). Ia juga menyusun Buku Kawih untuk bahan pelajaran di Sekolah Menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).

Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain Jepang, Hongkong, Philipina, Belanda, Australia, Amerika Serikat, dll. Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul Hiroshima”yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Walikota Hiroshima yang mengenalnya sebagai pencipta lagu. Diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Propinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000).

Nama :
Nano Suratno

Lahir :
Garut, Jawa Barat,
4 April 1944

Pendidikan :
Konservatori Karawitan (Kokar) Bandung (1961),
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI),
Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung
STSI Jurusan Karawitan Sunda

Karier :
Pengajar di SMP I Bandung,
Komponis Musik Karawitan,
Penulis dalam bahasa sunda,
Kepala Taman Budaya Propinsi Jawa Barat (1995-2000)

Penghargaan :
Mendapatkan Fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo),
Mendapat perhatian sebagai komponis yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan sunda yang penuh inovasi dan pengembangan dalam Festival Komponis Muda Indonesia I (1979),
HDX Award tingkat Nasional (1992),
Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (2004),
Hadiah Sastra Rancage atas jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda, terutama melalui lagu-lagu karawitan ciptaannya (2009)
Karya Musik :

Sang Kuriang (1979),
Katakana Hiragana Uta
(1981-1982),
Ueno Koen (1981-1982),
D'enshano Uta (1981-1982),
Kalangkang (Bayangan 1989),
Cinta Ketok Magic (1992),
Membuat lagu untuk Gending Karase'men antara lain
Deugdeug Pati Jaya Perang,
Raja Kecit,
1 Syawal di Alam Kubur,
Perang

Karya Tulis :
Cerpen Nu Baralik Manggung,
Haleuang Tandang (1976),
Karawitan Sunda (1982

Senin, 27 September 2010

Pupuh Kinanti




Pupuh Kinanti memiliki 6 baris. Satu baris terdiri dari 8 (delapan) suku kata.

Baris Pertama, 8 u (delapan suku kata dengan kata terakhir berakhiran "u")
Baris Kedua, 8 i
Baris Ketiga, 8 a
Baris Keempat, 8 i
Baris Kelima, 8 a
Baris Keenam, 8 i

Contoh:
Budak leutik bisa ngapung,
Babaku ngapungna peuting,
Ngalayang kakalayangan,
Neangan nu amis-amis,
Sarupaning bungbuahan,
Naon wae nu kapanggih.

Terjemahan:
Anak kecil bisa terbang,
Kebiasaannya terbang malam,
Terbang melayang-layang,
Mencari yang manis-manis,
Berupa buah-buahan,
(buah) Apa saja yang ditemukan.




Contoh pupuh Kinanti lainnya:

Kutan kitu ari maung,
Galakna kaliwat saking,
Lamun manggihan mangsana,
Uncal, hayam jeung kelenci,
Lamun beuteungna geus lapar,
Gancangan neangan daging.

Terjemahan
Ternyata begitu sang Harimau,
Begitu buasnya,
Kalau menemukan mangsanya,
Rusa, ayam dan kelinci,
Kalau perutnya sudah lapar,
Cepat-cepat mencari daging.


Contoh pupuh Kinanti lainnya :

Rusdi ku Ramlan di tungtun,
Dikaleng di ajak balik,
Diupahan ku tiluan,
Ku Ramlan, Paman jeung Bibi,
Dipapaler diupahan,
Ulah nyantel kanu balik.

Mang Koko Samoja

Ulah Ceurik [Kacapi Suling]

Kembang Tanjung Panineungan

Mang Koko - Sariak Layung