Selasa, 31 Agustus 2010

PUISI Kanggo Salira

Kanggo Salira

jungjunan
wengi ieu karaos pisan sonona..
beuki lami..
beuki dieu..
unggal usik
unggal malik..
duh..
geuningan rindat salira nu karaos..
..
aya anu gumuruh dina lebet dada ..
tos lami teu kedal..
mung ukur dibuni-buni..
disimpen dinu pangnyingkurna..
geuning ayeuna..
..
kuring bagja pisan
anu karaos teh endah..
duh..
iraha atuh tepang..
iraha atuh nyarandekeun kadeudeuh ka salira..
ngaraoskeun seungitna cinta ti salira..
ngaraoskeun cai soca anu lungsur bakatku bagja..
ngaraos bungahna..
basa gugah teh geuning aya salira
bari neutuep geugeut..sono..deudeuh.. nyaah..tresna..
kasono teh ngan ukur kagungan salira.
..
salam sono sareng katresna..

wanci yuswa tunggang gunung



Wanci yuswa tunggang gunung
Sagala nu ngarandapan narembongan
Nyisit melit kana ati
Matak eungap kana ambeukan

Manci yuswa tunggang gunung
Sagala kahayang narembongan
Bongan diri geus teu uni
Nyalimpang kana dir sorangan

Wanci yuswa tunggang gunung
Kahoyong tinggal kahoyong
Hoyong nyorang waktu katukang
Matak mawa kasalempang






Sariak Layung


Layung di beulah kulon geus nembongan
Tandana srangenge geus waktuna nyalindung ditukangeun gunung
Hawa sore beuki karasa
Angin peuting geus ngadagoan
Naha kuring bet inget ka wanci haneut moyan?
Di lebah buruan aya kembang kanyaah anu keur meujeugna ligar
Daunna hejo ngemploh matah betah mun ngiuhan
Waktu panon peo geus manceran
Eta kembang teh bet jadi leugit teu puguh juntrunganana
Kuring ngan nyekel kembang kanyaah anu murag
Dibawa diteundeun dina kantong katresna
Ayeuna wanci geus sareupna
Kuring moal bisa manggihan waktu beurang anu tadi
Sariak layung pang nepikeun ieu tresna
Panon poe pang nepungkeun deui beurang anu endah
Angin peuting wayahna pang nepikeun ieu asih
Ayeuna geus waktuna ngitung bekel
Ayeuna geus waktuna mapagkeun alam peuting
Ayeuna geus waktuna ngurus diri
Diri anu lakomot ku polah anu teu guna

Selasa, 24 Agustus 2010

mengenang sang seniman sunda "kang Ibing




Innalillahi wa inna ilaihirojiun. Satu lagi seniman Sunda berpulang ke rahmatullah. Raden Aang Kusmayatna atau yang lebih dikenal Ibing Kusmayatna (Kang Ibing) tutup usia, Kamis (19/8) sekitar pukul 20.45 WIB. Almarhum yang melambung namanya lewat film Si Kabayan itu meninggal saat dilarikan ke Rumah Sakit Al Islam (RSAI), Jln. Soekarno-Hatta Bandung. Kepergian budayawan tersebut mengejutkan keluarga dan teman-teman dekatnya, karena tak ada tanda-tanda Kang Ibing akan meninggal. Siang harinya, ia pergi ke Sumedang untuk melihat rumahnya.

Ibing memiliki rumah yang sering ia kunjungi di kota kecil itu. "Dari Sumedang hanya ngabuburit saja. Datang ke sini jam delapan malam," kata Muhamad Yusuf, adik ipar Kang Ibing di rumah duka, Margawangi Estate, Jln. Kencanawangi No. 70 RT 01/RW 13 Kel. Cijawura, Kec. Buahbatu, Bandung.

Setiba di rumahnya itu, tiba-tiba Kang Ibing jatuh di depan kandang domba miliknya yang berada di samping rumah. Pelawak cerdas ini sempat muntah-muntah sehingga keluarganya membawanya ke RSAI untuk berobat. Namun sesampainya di rumah sakit, dokter yang memeriksanya menyatakan pentolan D'Kabayan itu sudah tiada. Menurut rencana, Kang Ibing akan dimakamkan di Gunung Puyuh Kab. Sumedang. Ini merupakan amanat almarhum semasa hidupnya.

Kang Ibing meninggalknan tiga anak, Kusmadika (32), Kusmananda (28), Diane Fatmawati (25), dan satu istri Nike Wahtuningsih. Ia baru menikahkan putranya 7 Agustus 2010 lalu.

Tak ada firasat

Putra pertama Kang Ibing, Kusmandika menilai ayahnya sebagai sosok pekerja keras. Figur itu juga yang diajarkan kepada dirinya. "Ia selalu mengajarkan kepada kami untuk selalu kerja keras dan hidup sederhana," kata Kusmandika.

Sebelum meninggal, keluarga tidak pernah merasakan ada firasat apa-apa. Meski memiliki penyakit gula dan jantung, namun Kang lbing tidak pernah merasakannya. "Beliau tidak pernah mengeluhkan sakit yang dialaminya," katanya lagi.

Di mata sahabat dan rekan seprofesinya, Aom Koesman, Ibing dikenal sebagai sosok seniman, pelawak yang cerdas. Itu sebabnya, ia sangat kehilangan dengan meninggalnya Kang Ibing.

Aom Koesman mengaku sudah kenal Ibing sejak tahun 1966, ketika masih aktif di Daya Mahasiswa Sunda (Damas). Sehari-hari ia sudah seperti keluarga, dengan gaya pergaulan yang khas. "Kalau ada yang nanya mana Ibing, saya selalu menjawab maot (mati)," katanya.

Ketika kabar itu benar, Aom sempat tidak percaya. "Saya dapat kabar dari Radio Mara. Radio Mara katanya dari anaknya. Tapi saya tanya sendiri, bener teu ieu teh," katanya.

Meskipun demikian, ia datang juga ke rumah duka untuk melayat sahabatnya itu.

Aom mengungkapkan, sejak di Damas ia telah dekat dengan Kang Ibing. Pada 1968, katanya, ia dan Ibing membuat pergelaran komedian yang berjudul "Kawinan Senapati". Pergelaran ini sukses dan melambungkan nama keduanya.

Pada 1976, Ibing dan Aom Koesman main film bersama Leni Marlina berjudul Si Kabayan. "Setelah main film itu kemudian kami mendirikan grup lawak D'Kabayan, beranggotakan saya, Ibing, Wawa Sofwan, Ujang, dan Suryana Fatah. Kini tinggal saya yang tersisa," katanya.

Obrolan terakhir yang selalu terngiang di telinga Aom Koesman adalah pernyataan Kang Ibing yang meminta teman-teman lain agar menjaga Aom Koesman jangan sampai sakit. "Dia berceloteh, 'Si Koesman tong sina gering'," katanya. Mata Aom Koesman tampak berkaca-kaca.
Aom Kusman Terkejut Kang Ibing Wafat

"Saya kaget saat mendengar kabar beliau meninggal. Tadi siang saya berbincang dengan beliau pakai telepon. Kami janjian akan bertemu besok (Jumat 20 Agustus). Tetapi tiba-tiba tadi dapat kabar beliau meninggal," kata Aom, saat ditemui di rumah duka, di Margawangi Estate, Jalan Kencana Wangi,Cijawura, Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Jumat dini hari (20/8).

Aom tak percaya karena sebelum meninggal, kang Ibing masih bisa bercanda dengannya. "Tadi baik-baik saja saat ngobrol. Makanya tidak percaya beliau dikabarkan meninggal," paparnya.

Aom menambahkan, "Jadi, tolong dimaafkan semua kesalahan almarhum. Apalagi beliau orangnya memang suka bercanda.

Kang Ibing wafat di RS Islam Bandung sekitar pukul 20.45 WIB. Belum bisa diketahui apa penyebab meninggalnya artis kawakan tersebut. Almarhum meninggalkan seorang istri Nieke Wahyuningsih dan tiga anak Mega Kusmananda (28), Didik Kusmadikta (23) dan Diane Fatmawati
Kang Ibing Gagal Resmikan Taman Wangi Dewata
"Penghargaan pasti kita berikan untuk Kang Ibing. Setiap ulang tahun Bandung, kita selalu berikan penghargaan bagi mereka yang banyak membantu Bandung di bidang apapun. Ya, Kang Ibing termasuk salah seorang yang banyak membantu Pemkot Bandung," ujar walikota Bandung, Dada Rosada, saat ditemui di rumah duka di kawasan Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/8).

Dada pun terbilang dekat dengan Kang Ibing. Dada mengaku sering bertemu di Balai Kota Bandung.

"Terakhir, dia membantu saya untuk membuat taman dan mengajukan biayanya," katanya.

Taman ekat dengan kediaman Kang Ibing itu rencananya dinamakan Taman Wangi Dewata. Artinya Taman Wangi Dengan Dada Wali Kota. Namun, karena Kang Ibing sudah meninggal, rencana meresmikan taman tersebut pun menjadi batal.

Kamis, 19 Agustus 2010

SEJARAH SUNDA

Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.

Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.



Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'



Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.



Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).



Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).



Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.



Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.

Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.



Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.



Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.

Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.



Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.



Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.



Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).



Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).



Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.



Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.



Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).



RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.



Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).



Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).



Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).



Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.



Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).



Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.



Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).



Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.





Pemerintahan berdaulat



Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.



Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.



Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.



Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.



Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.



Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.



Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.



Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.



Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).



Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).

0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362

1. Jayasingawarman, 358-382

2. Dharmayawarman, 382-395

3. Purnawarman, 395-434

4. Wisnuwarman, 434-455

5. Indrawarman, 455-515

6. Candrawarman, 515-535

7. Suryawarman, 535-561

8. Kertawarman, 561-628

9. Sudhawarman, 628-639

10. Hariwangsawarman, 639-640

11. Nagajayawarman, 640-666

12. Linggawarman, 666-669



Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)

2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)

3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)

4. Rakeyan Banga (739 - 766)

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)

6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)

7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)

8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)

9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)

10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)

11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)

12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)

13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)

14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)

15. Munding Ganawirya (964 - 973)

16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)

17. Brajawisésa (989 - 1012)

18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)

19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)

20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)

21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)

22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)

23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)

24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)

25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)

26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)

27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)

28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)

29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)

32. Prabu Bunisora (1357-1371)

33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)

34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)

35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)

36. Prabu Surawisésa (1521-1535)

37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)

38. Prabu Sakti (1543-1551)

39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)

40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)

Sumber:

- Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.

- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000

- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.

- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1

- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Sabtu, 07 Agustus 2010

LIRIK LAGU CEURIK RAHWANA

CEURIK RAHWANA

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo Kakang anu geulis

Da anu geulis

Kadieu sakeudeung geuwat

Engkang rek mere pepeling

Aduh geulis mere pepeling

Geura sambat indung bapa

Bilih kaduhung di ahir

Duh engkang romroman kalbu

Pupuja lahir jeung batin gusti

Lahir jeung batin

Aya naon pangersa tara tara tisasari

Aduh da tisasari

Nyauran ragrag cisoca

Abdimah saredih perih

Kaduhung kakang kaduhung

Kataji nu lain lain

Geulis nu lain lain

Kaiwat goda rancana

Kagendam ku sintawati

Geuningkieu karasana

Malindeus malika diri

CEURIK RAHWANA

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo akang anu geulis…. Geulis….

Kadieu sakeudeung heula

Akang rek mere pepeling…. Aduh

Geura sambat indung bapa

Samemeh akang pinasti

Aduh enung anu ayu

Nu geulis pupujan ati…. Geuning….

Akang tangtu ngababatang

Samemeh akang pinasti… aduh

Aduh geulis … akang pinasti

Erek menta dihampura

Lahir tumekaning batin

Kaduhung akang kaduhung

Kataji nu lain lain.. geuning…

Kaiwat goda rancana

Kagembang ku sintawati…aduh…

Geuning kieu balukarna

Malindes balik ka diri

Banondari akang ampun

Rumasa geus nganyenyeri… geuning

Salawasna dikakaya

Nyandung geus puluhan kali…aduh…

CEURIK RAHWANA (2)

Maneh nu sabar tawekal

Doraka akang kabadi

Ayeuna tepung panungtung

Jeung akang moal panggih deui…geuning

Akang menta dihampura

Kaawak maneh nu geulis…aduh

Poma ulah rek gagabah

Mun boga salaki deui

Ulah milih anu weduk

Anu gagah rongkah sakti… geuning

Nu dugal sartabasangkal

Boga rasa ieu aing…aduh..

Lalanang dikolong jagat

Bakti manggulang mangguling

Nu weduk teu burung ajur

Nu sakti tanwande mati…geuning…

Nu dugal teu burung ajal

Da taya anu linuwih…aduh…

Sakumna mahluk di dunya

Wekasan nana mah sami



CEURIK RAHWANA/ tangis anjani

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo Kakang anu geulis

Da anu geulis

Kadieu sakeudeung geuwat

Engkang rek mere pepeling

Aduh geulis mere pepeling

Geura sambat indung bapa

Bilih kaduhung di ahir

Duh engkang romroman kalbu

Pupuja lahir jeung batin gusti

Lahir jeung batin

Aya naon pangersa tara tara tisasari

Aduh da tisasari

Nyauran ragrag cisoca

Abdimah saredih perih

Kaduhung kakang kaduhung

Kataji nu lain lain

Geulis nu lain lain

Kaiwat goda rancana

Kagendam ku sintawati

Geuningkieu karasana

Malindeus malika diri

CEURIK RAHWANA

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo akang anu geulis…. Geulis….

Kadieu sakeudeung heula

Akang rek mere pepeling…. Aduh

Geura sambat indung bapa

Samemeh akang pinasti

Aduh enung anu ayu

Nu geulis pupujan ati…. Geuning….

Akang tangtu ngababatang

Samemeh akang pinasti… aduh

Aduh geulis … akang pinasti

Erek menta dihampura

Lahir tumekaning batin

Kaduhung akang kaduhung

Kataji nu lain lain.. geuning…

Kaiwat goda rancana

Kagembang ku sintawati…aduh…

Geuning kieu balukarna

Malindes balik ka diri

Banondari akang ampun

Rumasa geus nganyenyeri… geuning

Salawasna dikakaya

Nyandung geus puluhan kali…aduh…

CEURIK RAHWANA (2)

Maneh nu sabar tawekal

Doraka akang kabadi

Ayeuna tepung panungtung

Jeung akang moal panggih deui…geuning

Akang menta dihampura

Kaawak maneh nu geulis…aduh

Poma ulah rek gagabah

Mun boga salaki deui

Ulah milih anu weduk

Anu gagah rongkah sakti… geuning

Nu dugal sartabasangkal

Boga rasa ieu aing…aduh..

Lalanang dikolong jagat

Bakti manggulang mangguling

Nu weduk teu burung ajur

Nu sakti tanwande mati…geuning…

Nu dugal teu burung ajal

Da taya anu linuwih…aduh…

Sakumna mahluk di dunya

Wekasan nana mah sami


Jumat, 06 Agustus 2010

JANG JAWOKAN/AJIMANTRA DALAM KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

Adakah daintara kita yg pernah mendengar,bahkan tau dengan kata JANG JAWOKAN?? sedikit akan saya coba ulas mengenai jang jawokan menurut sepengetahuan saya dan beberapa informasi yg pernah saya dapat. semoga ulasan ini bisa bermanfaat dan menambah perbendaharaan kita mengenai budaya indonesia khususnya budaya sunda.
JANG JAWOKAN adalah suatu bacaan mantra,jampi, asihan, singlar, jangjawokan, rajah, ajian, dan pelet yg ada dalam budaya masyarakat sunda.
pertam kita ulas dulu kata MANTRA :perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya);susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.MANTRA dibagi menjadi 7 bagian yaitu jampe jampi, asihan pekasih, singlar pengusi, jangjawokan jampi, rajah ‘kata-kata pembuka jampi, ajian ,ajian/jampi ajian kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna. ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic dan mantra hitam black magic.adapun pembagian tersebut berdasakan maksud dan tujuan mantra itu sendiri, mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan.

Adanya pembagian antara mantra putih (white magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.

Keberadaan mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra.

bagi masyarakat penghayat mantra dalam setiap kegiatan atau keseharian mereka kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud. Misalnya, para petani ingin sawahnya subur, terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah; para pedagang ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
contoh contoh AJimantra Atau jang jawokan :
Rarakan Nyi Pohaci
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.

Secara simbolik, benda-benda yang disebutkan merupakan perwakilan dari hakekat manusia yang senantiasa harus menjalani hidup dengan dibekali iman yang kuat.

Fungsi lain yang menyiratkan adanya permohonan kepada Sang Pencipta, tampak pada sejumlah mantra kekuatan, begitu erat dengan kebutuhan hidup masyarakat yang dalam satu segi membutuhkan kekuatan lahir maupun batin untuk melaksanakan maksud tertentu. Semua mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka tinggal menunggu keputusan dari Yang Maha Menentukan atas usaha yang dijalankan manusia. Betapa manusia merasa kecil dan tak berdaya sehingga memohon dilindungi, ditopang, diberi kemurahan pada setiap langkah, mohon ditetapkan iman dan Islam. Begitu juga dengan mantra kekuatan lainnya, dengan berbekal keyakinan dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, mantra diucapkan untuk tujuan keunggulan, agar disayangi, agar segala perbuatan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, agar perkasa, awet muda, untuk menaklukan siluman, dan lain-lain. Salah satu contoh mantra kekuatan yang termasuk ke dalam
pelet ‘guna-guna’ dapat dilihat dalam contoh berikut ini

Pelet
Bismillah
Kum awewe
Wataji kulhu absar
Wahuwa Latiful Khabil
Sabulan sang ratu nu colalang
Sabulan mangrupi
Dua putri mananjo
Tujuh bulan kolot
Salapan bulan sang goledah
Gereleng putih
Jig ka cai ngadon ceurik
Jig ka darat ngadon midangdam
Jig ka imah asa jobong koong
Kop cai asa tuak bari
Kop dahar asa tatal bobo
Kaula nyaho ngaran sia…si…….

Asihan
Samping aing kebet lereng
ditilik ti gigir lenggik
diteuteup ti hareup sieup
mikaeunteup mikasieup
mangka eunteup mangka sieup
ka awaking
awaking ratu asihan
ti luhur kuwung-kuwungan
ti handap teja mentrangan
ditilik ti tukang lenggik
di tilik ti gigir sieup
mangka eunteup mangka sieup
asih…asih… asih….
asih ka badan awaking

contoh jampi jampi biasa dipergunakan dalam keseharian dalam permohonan doa, untuk pengobatan dan lain sebagainya :
Jampe Beunghak Beuteung
Cakakak di leuweung
Injuk talina
Dihakan dibeuweung
Hitut jadina
Plong blos plong blong………
jampe2 diatas contoh jampi2 yg digunakan untuk pengobatan dalam jampi2 tersebut diatas menggambarkan permohonan doa untuk pengobatan perut yg kembung.
lalu contoh lain jampi jampi yg sering digunakan sehari hari yaitu:

Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup

Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.

Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini :

* Jampe Nyimpen Beas


* Mangga Nyi Pohaci
* Nyimas Alame Nyimas Mulang
* Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
* Abdi ngiringan
* Ashadu sahadat panata, panetep gama
* Iku kang jumeneng lohelapi
* Kang ana teleking ati
* Kang ana lojering Allah
* Kang ana madep maring Allah
* Iku wuju salamaet ing dunya
* Salamet ing akherat
* Asahadu anla ila haileloh
* Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
* Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
* Nyanggakeun sangu putih sapulukan
* Kukus kuning purba herang
* Tuduh kang seseda tuhu
* Datang ka sang seda herang
* Tepi ka kang seda sakti
* Nu sakti neda kasakten
* Neda deugdeugan tanjeuran

Contoh lainnya,

* Jampe Ngisikan (mencuci beras) :

* Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
* Geura siram dibanyu mu’min
* Di Talaga Kalkaosar
* Abdi ngiringan
* Nyi Pohaci Budugul Wulung
* Ulang jail babawaan kaula
* Heug
*
* Nyi Pohaci Barengan Jati
* Ulah jail kaniaya
* Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
* heug
Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.

Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.

Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga.


Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.


Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :


Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan”.


Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).


Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib”.

Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.


Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.


Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.


Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer


Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….


Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.


Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang Sunda Buhun terhadap ‘Trias Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya “Urang Sunda” akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.


Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.


Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda – Agama dan kepercayaan :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri.


Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh - khas. Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti dibawah ini.


Sawer Panganten :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.


Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah – Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat – Sifat – dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi arkais.


Contoh lainnya do’a untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :


Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :

Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?.


Saya justru menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheung”.


Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.


Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.


Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.


Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.


Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.


Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.


Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.


Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :

1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.

dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.

berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.

masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.

adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.

terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.

Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.


Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.


Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :


Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.


Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak”nu dipasamoan’.


Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :



Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing ..........


Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.


Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.


Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin


Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.


Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahkan.


Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.


Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.


Pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang ‘menginginkan’ sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :


Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking


Atau :


Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking


Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.


Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :


Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….

Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan ……dst”.


Saya menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh kentel peujit’. Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.


Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh ‘urang sunda buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.


Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam ‘penegasan perintah untuk dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :


Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan


Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.


Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathin, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.