Rabu, 29 September 2010

Gentra Madya practice Nano S.


Almarhum Seorang Guru yang Jadi Panutan
Seniman dan Budayawan Kehilangan Nano S
BANDUNG, (PRLM).- Kepergian Nano Suratno atau Kang Nano S. (66), Rabu (29/9) malam sekira pukul 23.15 WIB saat menjalani perawatan di ruang Paviliun ICU RS Immanuel, meninggalkan kesan sangat mendalam bukan hanya bagi para seniman maupun budayawan di Kota Bandung maupun Jawa Barat. Keluarga besar SMKN 10 (sebelumnya Kokar kemudian menjadi )SMKI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, juga merasakan kehilangan yang teramat sangat atas kepergian Maestro Seni Tembang dan Karawitan Sunda tersebut.
“Sosok Kang Nano selama ini oleh masyarakat luas hanya sebagai seniman pencipta lagu dan seni karawitan. Namun bagi kami dilingkungan SMKN 10, sosok Kang Nano lebih dari seorang guru ataupun pendidik yang memberikan ilmu pengetahuan seputar kesenian Sunda. Tapi lebih dari itu, Kang Nano juga memberikan suritauladan tentang bagaimana menjadi seorang seniman seutuhnya yang tidak bergantung pada pemerintah,” ujar Mas Nana Munajat, salah seorang staf pengajar di SMKN 10 Bandung yang dalam beberapa garapan karya panggung Kang Nano turut membantu.
Dikatakan Mas Nana, salah satu petuah yang sering diingatkan kepada anak didiknya adalah sebagai seniman harus memiliki ciri tapi jangan melupakan seni tradisi titincakan. Hal lain yang juga sering diingatkan, sebagai seniman (tradisi) jangan hanya berharap dari pemerintah, apalagi jadi seniman proposal yang berharap bantuan.
“Karena kalau menunggu pemerintah apalagi proposal mau sampai kapan menjadi seniman dan menghasilkan karya. Kalaupun mendapat bantuan dari pemerintah, karya yang dihasilkapun tidak akan murni karya sendiri karena pasti ada keinginan dari si pemberi biaya,” ujar Mas Nana.
Sementara itu Adjie Esa Poetra, yang sempat bertemu Kang Nano seusai pulang mengikuti International Gamelan Festival Amsterdam (IFGA) 2010, bukan hanya kehilangan teman berbagai ilmu dan pengalaman, juga kehilangan seorang guru dan panutan. “Karenanya, saya berharap ratusan karya Kang Nano dapat dilestarikan, bahkan saya akan berupaya untuk mewacanakan pembuatan museum karya Kang Nano. Sayang kalau sampai hilang dan dilupakan,” ujar Adjie Esa Poetra.
Sejumlah karyawan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, menilai Kang Nano saat menjadi Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya (2000, saat BPTB dibawah Kanwil Depdikbud) sebagai sosok pemimpin yang konsen terhadap apa yang sudah di programkan dan harus dilaksanakan. “Sebagai cikal bakal taman budaya di tanah air, Kang Nano mampu menjadikan Taman Budaya Jawa Barat turut andil dalam melestarikan seni budaya tradisi serta memperkaya khasanah budaya tanah air,” ujar Gunawan, salah seorang staf di BPTB Jabar.
Kepergian Kang Nano juga dirasakan Kang Teteng salah seorang tukang becak yang tidak jauh dari rumah Kang Nano di Jalan Moh Toha no. 352 Bandung. “Jigana kapayun mah moal aya deui naros sabari ngelingan dibarengan ku seuri jeung dariana,” ujar Kang Teteng, mengungkapkan keramahan Kang Nano meski sudah menjadi seorang seniman besar tapi tetap menyapa orang kecil seperti dirinya

Seniman Musik
Nano S


Lahir di Garut, Jawa Barat, 4 April 1944. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961) yang ketika itu dipimpin Daeng Sutigna. Setelah tamat, ia mengajar di SMP 1 Bandung dan kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan STSI Jurusan Karawitan Sunda sampai selesai.

Tahun 1964, bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, namun beberapa tahun kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972). Banyak menciptakan lagu karawitan Sunda, di awal masih memperlihatkan pengaruh gurunya, Mang Koko, tetapi kemudian mulai memperlihatkan cirinya sendiri. Jika Mang Koko, gurunya, mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat, Nano juga, tetapi di samping itu seakan-akan menertetawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu. Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut Prakpilingkung (keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia 1 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, Sang Kuriang mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi pengembangan.

Pernah mendapat beasiswa fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo), untuk mempelajari perbandingan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara alam musik Kecapi dan Koto. Selain itu, ia juga belajar meniup Sakuhachi dan memetik Shamisen, yang kemudian membuat kolaborasi alat-alat itu pada ciptaannya dan membuat beberapa lagu karawitan Sunda yang berbahasa Jepang, diantaranya Katakana Hiragana Uta, Ueno Koen dan D'enshano Uta (1981-1982). Pernah di undang oleh departemen musik Universitas Santa Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam Spring Performance (1990).

Keprofesionalannya dalam dalam kesenian Sunda semakin terbukti ketika ia di minta oleh Min on, impresario, sebuah kelompok kesenian Jepang yang besar, untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda di berbagai kota di seluruh Jepang selama 40 hari dengan 22 kali pertunjukan. Pertunjukan ini mendapat sambutan antusias karena keindahan yang di tampilkan dengan disiplin yang tinggi (1988). Pertunjukan itu dimintaa untuk diulang lagi berkali-kali untuk tampil dikota-kota lain.

Popularitasnya semakin menanjak setelah album-album rekaman kasetnya banyak diminati oleh masyarakat, diantara Kalangkang (Bayangan 1989), Cinta Ketok Magic (1992), yang meledak di pasaran sehingga mendapat HDX Award tingkat Nasional. Meskipun lagu-lagu ciptaannya berjenis karawitan, namun dengan cepat memperoleh penggemar di seluruh Indonesia, bukan hanya dari kalangan orang sunda saja, apalagi setelah lagu-lagu itu dijadikan pop Sunda. Selain itu, Ia juga membuat lagu untuk Gending Karesmen bersama Wahyu Wibisana, Raf, dll. Gending Karesmen ciptaannya antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecit, 1 Syawal di Alam Kubur, Perang, dll.

Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah di muat dalam majalah Mangle, Hanjuang, dll. Cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Nu Baralik Manggung (Yang Pulang sehabis mengadakan pertunjukan). Ia juga menyusun Buku Kawih untuk bahan pelajaran di Sekolah Menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).

Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain Jepang, Hongkong, Philipina, Belanda, Australia, Amerika Serikat, dll. Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul Hiroshima”yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Walikota Hiroshima yang mengenalnya sebagai pencipta lagu. Diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Propinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000).

Nama :
Nano Suratno

Lahir :
Garut, Jawa Barat,
4 April 1944

Pendidikan :
Konservatori Karawitan (Kokar) Bandung (1961),
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI),
Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung
STSI Jurusan Karawitan Sunda

Karier :
Pengajar di SMP I Bandung,
Komponis Musik Karawitan,
Penulis dalam bahasa sunda,
Kepala Taman Budaya Propinsi Jawa Barat (1995-2000)

Penghargaan :
Mendapatkan Fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo),
Mendapat perhatian sebagai komponis yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan sunda yang penuh inovasi dan pengembangan dalam Festival Komponis Muda Indonesia I (1979),
HDX Award tingkat Nasional (1992),
Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (2004),
Hadiah Sastra Rancage atas jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda, terutama melalui lagu-lagu karawitan ciptaannya (2009)
Karya Musik :

Sang Kuriang (1979),
Katakana Hiragana Uta
(1981-1982),
Ueno Koen (1981-1982),
D'enshano Uta (1981-1982),
Kalangkang (Bayangan 1989),
Cinta Ketok Magic (1992),
Membuat lagu untuk Gending Karase'men antara lain
Deugdeug Pati Jaya Perang,
Raja Kecit,
1 Syawal di Alam Kubur,
Perang

Karya Tulis :
Cerpen Nu Baralik Manggung,
Haleuang Tandang (1976),
Karawitan Sunda (1982

Senin, 27 September 2010

Pupuh Kinanti




Pupuh Kinanti memiliki 6 baris. Satu baris terdiri dari 8 (delapan) suku kata.

Baris Pertama, 8 u (delapan suku kata dengan kata terakhir berakhiran "u")
Baris Kedua, 8 i
Baris Ketiga, 8 a
Baris Keempat, 8 i
Baris Kelima, 8 a
Baris Keenam, 8 i

Contoh:
Budak leutik bisa ngapung,
Babaku ngapungna peuting,
Ngalayang kakalayangan,
Neangan nu amis-amis,
Sarupaning bungbuahan,
Naon wae nu kapanggih.

Terjemahan:
Anak kecil bisa terbang,
Kebiasaannya terbang malam,
Terbang melayang-layang,
Mencari yang manis-manis,
Berupa buah-buahan,
(buah) Apa saja yang ditemukan.




Contoh pupuh Kinanti lainnya:

Kutan kitu ari maung,
Galakna kaliwat saking,
Lamun manggihan mangsana,
Uncal, hayam jeung kelenci,
Lamun beuteungna geus lapar,
Gancangan neangan daging.

Terjemahan
Ternyata begitu sang Harimau,
Begitu buasnya,
Kalau menemukan mangsanya,
Rusa, ayam dan kelinci,
Kalau perutnya sudah lapar,
Cepat-cepat mencari daging.


Contoh pupuh Kinanti lainnya :

Rusdi ku Ramlan di tungtun,
Dikaleng di ajak balik,
Diupahan ku tiluan,
Ku Ramlan, Paman jeung Bibi,
Dipapaler diupahan,
Ulah nyantel kanu balik.

Mang Koko Samoja

Ulah Ceurik [Kacapi Suling]

Kembang Tanjung Panineungan

Mang Koko - Sariak Layung

Mang Koko - Malati Di Gunung Guntur


Girimis nu jadi saksi
Mun nyawang mangsa katukang
Waktos urang babarengan
Ngaleupas kasono ati
Ngaleupas katineung ati

Kiwari tinggal waasna
Lalakon cinta nu urang
Mengkeut janji rek ngahiji
Hanjakal henteu ngajadi
Jodo mah kagungan gusti

Reff: Saliwat anjeun asa nembongan
Ngalangkang mawa kamelang
Kabayang anjeun imut ngahereuyan
Ngan hanjakal saukur kalangkang

Najan ayeuna urang tos paanggang
Najan janji pasini teu ngajadi
Kapan tilas lalampahan urang duaan
Masih.. narembongan

Doel Sumbang - Bandung

Wina - Budak Saha 1 (1)



Kuda Renggong
Berdasarkan cuplikan sejarah lahirnya kesenian Kuda
Renggong di Kab. Sumedang, kesenian tradisional itu
mulai muncul sekira tahun 1910. Awalnya, Kanjeng
Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) pada masa
pemerintahan berusaha untuk memajukan bidang
peternakan. Pangeran Suriaatmaja sengaja mendatangkan
bibit kuda yang dianggap unggul dari pulau Sumba dan
Sumbawa. Kuda-kuda tersebut selain digunakan sebagai
alat transportasi bangsawan, pada masa tersebut kuda
juga sering difungsikan sebagai alat hiburan pacuan
kuda.

Sementara kesenian kuda renggong menurut cuplikan
sejarahnya, berawal dari prakarsa seorang abdi dalem
bernama Sipan yang biasa mengurus kuda titipan dari
para pamong praja saat itu. Sipan yang kelahiran tahun
1870 adalah anak dari Bidin, yang tinggal di Dusun
Cikurubuk, Desa Cikurubuk Kec. Buahdua Sumedang.

Sejak kecil, Sipan yang kemudian banyak mendapat
titipan kuda dari pamong praja, senang mengamati
gerak-gerik dan tingkah laku kuda. Dari hasil
pengamatannya, Sipan menyimpulkan, kuda bisa dilatih
mengikuti gerakan yang diinginkan manusia. Ketika
Sipan berusia sekira 40 tahun, ia mulai mencoba
melatih kuda gerakan tari (ngarenggong).

Hal itu diawalinya, ketika suatu hari di tahun 1910 ia
memandikan sejumlah kuda titipan pamong praja di suatu
tempat pemandian. Sipan saat itu, melihat, seekor kuda
di antaranya, bergoyang dengan gerakan melintang.
Sipan mengiringinya dengan musik dogdog dan angklung.
Eh gerakan kuda yang ngigel tadi semakin menjadi-jadi.

Dari pengamatan dan pelatihan-pelatihan kuda menari
tersebut, Sipan menyimpulkan kuda bisa dilatih
melakukan sejumlah gerakan tari. Masing-masing gerakan
diberi nama, semacam Adean, yaitu gerakan lari kuda
melintang atau gerakan kuda lari ke pingggir. Lalu
Torolong, yaitu gerakan lari kuda dengan langkah kaki
pendek-pendek, namun gerakannya cepat. Gerakan
Derap/jorog adalah gerakan langkah kaki kuda jalan
biasa, artinya lari dengan gerakan cepat. Sedangkan
Congklang adalah gerakan lari cepat dengan kaki
sama-sama ke arah depan, dan gerakan anjing minggat,
yaitu gerakan kaki kuda setengah berlari.

Dengan dukungan Kanjeng Pangeran Aria Suriaatmaja,
Sipan resmi melatih kuda dengan gerakan-gerakan tadi.
Saat itulah menjadi awal lahirnya kesenian kuda
renggong. Setelah Sipan meninggal dunia di usia 69
tahun (1939), keahliannya melatih kuda menari
diturunkan kepada putranya bernama Sukria.

Selanjutnya, keahlian melatih kuda tersebut, secara
turun temurun terus berlanjut dan berkembang hingga ke
generasi-generasi pelatih kuda saat ini. Dengan
berbagai tambahan kreasi hingga akhirnya lahir dan
berkembangnya kuda silat

Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata "renggong" di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk "ketrampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.
Sejarah
Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.
Bentuk kesenian
Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.
Dalam pertunjukannya, Kuda Renggong memiliki dua kategori bentuk pertunjukan, antara lain meliputi pertunjukan Kuda Renggong di desa dan pada festival.
Pertunjukan di pemukiman
Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.
Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.
Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.
Pertunjukan festival
Pertunjukan Kuda Renggong di Festival Kuda Renggong berbeda dengan pertunjukan keliling yang biasa dilakukan di desa-desa. Pertunjukan Kuda Renggong di festival Kuda Renggong, setiap tahunnya menunjukan peningkatan, baik jumlah peserta dari berbagai desa, juga peningkatan media pertunjukannya, asesorisnya, musiknya, dll. Sebagai catatan pengamatan, pertunjukan Kuda Renggong dalam sebuah festival biasanya para peserta lengkap dengan rombongannya masing-masing yang mewakili desa atau kecamatan se-Kabupaten Sumedang dikumpulkan di area awal keberangkatan, biasanya di jalan raya depan kantor Bupati, kemudian dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia (Diparda Sumedang). Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan Kuda Renggong.
Dari beberapa pertunjukan yang ditampilkan nampak upaya kreasi masing-masing rombongan, yang paling menonjol adalah adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat), pakaian anak sunat tidak lagi hanya tokoh Wayang Gatotkaca, tetapi dilengkapi dengan anak putri yang berpakaian seperti putri Cinderella dalam dongeng-dongeng Barat. Penambahan asesoris Kuda, dengan berbagai warna dan payet-payet yang meriah keemasan, payung-payung kebesaran, tarian para pengiring yang ditata, musik pengiring yang berbeda-beda, tidak lagi Kendang Penca, tetapi Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, dll. Demikian juga dengan lagu-lagunya, selain yang biasa mereka bawakan di desanya masing-masing, sering ditambahkan dengan lagu-lagu dangdutan yang sedang popular, seperti Goyang Dombret, Pemuda Idaman, Mimpi Buruk, dll. Setelah berkeliling kembali ke titik keberangkatan.
Perkembangan
Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, terompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speakrer toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet Brass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.
Makna
Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya
• Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;
• Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;
• Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;
• Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.

sumber :
http://id.wikipedia.org
http://www.mail-archive.com

Selasa, 31 Agustus 2010

PUISI Kanggo Salira

Kanggo Salira

jungjunan
wengi ieu karaos pisan sonona..
beuki lami..
beuki dieu..
unggal usik
unggal malik..
duh..
geuningan rindat salira nu karaos..
..
aya anu gumuruh dina lebet dada ..
tos lami teu kedal..
mung ukur dibuni-buni..
disimpen dinu pangnyingkurna..
geuning ayeuna..
..
kuring bagja pisan
anu karaos teh endah..
duh..
iraha atuh tepang..
iraha atuh nyarandekeun kadeudeuh ka salira..
ngaraoskeun seungitna cinta ti salira..
ngaraoskeun cai soca anu lungsur bakatku bagja..
ngaraos bungahna..
basa gugah teh geuning aya salira
bari neutuep geugeut..sono..deudeuh.. nyaah..tresna..
kasono teh ngan ukur kagungan salira.
..
salam sono sareng katresna..

wanci yuswa tunggang gunung



Wanci yuswa tunggang gunung
Sagala nu ngarandapan narembongan
Nyisit melit kana ati
Matak eungap kana ambeukan

Manci yuswa tunggang gunung
Sagala kahayang narembongan
Bongan diri geus teu uni
Nyalimpang kana dir sorangan

Wanci yuswa tunggang gunung
Kahoyong tinggal kahoyong
Hoyong nyorang waktu katukang
Matak mawa kasalempang






Sariak Layung


Layung di beulah kulon geus nembongan
Tandana srangenge geus waktuna nyalindung ditukangeun gunung
Hawa sore beuki karasa
Angin peuting geus ngadagoan
Naha kuring bet inget ka wanci haneut moyan?
Di lebah buruan aya kembang kanyaah anu keur meujeugna ligar
Daunna hejo ngemploh matah betah mun ngiuhan
Waktu panon peo geus manceran
Eta kembang teh bet jadi leugit teu puguh juntrunganana
Kuring ngan nyekel kembang kanyaah anu murag
Dibawa diteundeun dina kantong katresna
Ayeuna wanci geus sareupna
Kuring moal bisa manggihan waktu beurang anu tadi
Sariak layung pang nepikeun ieu tresna
Panon poe pang nepungkeun deui beurang anu endah
Angin peuting wayahna pang nepikeun ieu asih
Ayeuna geus waktuna ngitung bekel
Ayeuna geus waktuna mapagkeun alam peuting
Ayeuna geus waktuna ngurus diri
Diri anu lakomot ku polah anu teu guna

Selasa, 24 Agustus 2010

mengenang sang seniman sunda "kang Ibing




Innalillahi wa inna ilaihirojiun. Satu lagi seniman Sunda berpulang ke rahmatullah. Raden Aang Kusmayatna atau yang lebih dikenal Ibing Kusmayatna (Kang Ibing) tutup usia, Kamis (19/8) sekitar pukul 20.45 WIB. Almarhum yang melambung namanya lewat film Si Kabayan itu meninggal saat dilarikan ke Rumah Sakit Al Islam (RSAI), Jln. Soekarno-Hatta Bandung. Kepergian budayawan tersebut mengejutkan keluarga dan teman-teman dekatnya, karena tak ada tanda-tanda Kang Ibing akan meninggal. Siang harinya, ia pergi ke Sumedang untuk melihat rumahnya.

Ibing memiliki rumah yang sering ia kunjungi di kota kecil itu. "Dari Sumedang hanya ngabuburit saja. Datang ke sini jam delapan malam," kata Muhamad Yusuf, adik ipar Kang Ibing di rumah duka, Margawangi Estate, Jln. Kencanawangi No. 70 RT 01/RW 13 Kel. Cijawura, Kec. Buahbatu, Bandung.

Setiba di rumahnya itu, tiba-tiba Kang Ibing jatuh di depan kandang domba miliknya yang berada di samping rumah. Pelawak cerdas ini sempat muntah-muntah sehingga keluarganya membawanya ke RSAI untuk berobat. Namun sesampainya di rumah sakit, dokter yang memeriksanya menyatakan pentolan D'Kabayan itu sudah tiada. Menurut rencana, Kang Ibing akan dimakamkan di Gunung Puyuh Kab. Sumedang. Ini merupakan amanat almarhum semasa hidupnya.

Kang Ibing meninggalknan tiga anak, Kusmadika (32), Kusmananda (28), Diane Fatmawati (25), dan satu istri Nike Wahtuningsih. Ia baru menikahkan putranya 7 Agustus 2010 lalu.

Tak ada firasat

Putra pertama Kang Ibing, Kusmandika menilai ayahnya sebagai sosok pekerja keras. Figur itu juga yang diajarkan kepada dirinya. "Ia selalu mengajarkan kepada kami untuk selalu kerja keras dan hidup sederhana," kata Kusmandika.

Sebelum meninggal, keluarga tidak pernah merasakan ada firasat apa-apa. Meski memiliki penyakit gula dan jantung, namun Kang lbing tidak pernah merasakannya. "Beliau tidak pernah mengeluhkan sakit yang dialaminya," katanya lagi.

Di mata sahabat dan rekan seprofesinya, Aom Koesman, Ibing dikenal sebagai sosok seniman, pelawak yang cerdas. Itu sebabnya, ia sangat kehilangan dengan meninggalnya Kang Ibing.

Aom Koesman mengaku sudah kenal Ibing sejak tahun 1966, ketika masih aktif di Daya Mahasiswa Sunda (Damas). Sehari-hari ia sudah seperti keluarga, dengan gaya pergaulan yang khas. "Kalau ada yang nanya mana Ibing, saya selalu menjawab maot (mati)," katanya.

Ketika kabar itu benar, Aom sempat tidak percaya. "Saya dapat kabar dari Radio Mara. Radio Mara katanya dari anaknya. Tapi saya tanya sendiri, bener teu ieu teh," katanya.

Meskipun demikian, ia datang juga ke rumah duka untuk melayat sahabatnya itu.

Aom mengungkapkan, sejak di Damas ia telah dekat dengan Kang Ibing. Pada 1968, katanya, ia dan Ibing membuat pergelaran komedian yang berjudul "Kawinan Senapati". Pergelaran ini sukses dan melambungkan nama keduanya.

Pada 1976, Ibing dan Aom Koesman main film bersama Leni Marlina berjudul Si Kabayan. "Setelah main film itu kemudian kami mendirikan grup lawak D'Kabayan, beranggotakan saya, Ibing, Wawa Sofwan, Ujang, dan Suryana Fatah. Kini tinggal saya yang tersisa," katanya.

Obrolan terakhir yang selalu terngiang di telinga Aom Koesman adalah pernyataan Kang Ibing yang meminta teman-teman lain agar menjaga Aom Koesman jangan sampai sakit. "Dia berceloteh, 'Si Koesman tong sina gering'," katanya. Mata Aom Koesman tampak berkaca-kaca.
Aom Kusman Terkejut Kang Ibing Wafat

"Saya kaget saat mendengar kabar beliau meninggal. Tadi siang saya berbincang dengan beliau pakai telepon. Kami janjian akan bertemu besok (Jumat 20 Agustus). Tetapi tiba-tiba tadi dapat kabar beliau meninggal," kata Aom, saat ditemui di rumah duka, di Margawangi Estate, Jalan Kencana Wangi,Cijawura, Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Jumat dini hari (20/8).

Aom tak percaya karena sebelum meninggal, kang Ibing masih bisa bercanda dengannya. "Tadi baik-baik saja saat ngobrol. Makanya tidak percaya beliau dikabarkan meninggal," paparnya.

Aom menambahkan, "Jadi, tolong dimaafkan semua kesalahan almarhum. Apalagi beliau orangnya memang suka bercanda.

Kang Ibing wafat di RS Islam Bandung sekitar pukul 20.45 WIB. Belum bisa diketahui apa penyebab meninggalnya artis kawakan tersebut. Almarhum meninggalkan seorang istri Nieke Wahyuningsih dan tiga anak Mega Kusmananda (28), Didik Kusmadikta (23) dan Diane Fatmawati
Kang Ibing Gagal Resmikan Taman Wangi Dewata
"Penghargaan pasti kita berikan untuk Kang Ibing. Setiap ulang tahun Bandung, kita selalu berikan penghargaan bagi mereka yang banyak membantu Bandung di bidang apapun. Ya, Kang Ibing termasuk salah seorang yang banyak membantu Pemkot Bandung," ujar walikota Bandung, Dada Rosada, saat ditemui di rumah duka di kawasan Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/8).

Dada pun terbilang dekat dengan Kang Ibing. Dada mengaku sering bertemu di Balai Kota Bandung.

"Terakhir, dia membantu saya untuk membuat taman dan mengajukan biayanya," katanya.

Taman ekat dengan kediaman Kang Ibing itu rencananya dinamakan Taman Wangi Dewata. Artinya Taman Wangi Dengan Dada Wali Kota. Namun, karena Kang Ibing sudah meninggal, rencana meresmikan taman tersebut pun menjadi batal.

Kamis, 19 Agustus 2010

SEJARAH SUNDA

Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.

Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.



Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'



Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.



Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).



Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).



Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.



Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.

Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.



Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.



Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.

Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.



Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.



Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.



Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).



Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).



Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.



Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.



Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).



RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.



Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).



Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).



Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).



Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.



Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).



Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.



Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).



Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.





Pemerintahan berdaulat



Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.



Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.



Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.



Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.



Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.



Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.



Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.



Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.



Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).



Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).

0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362

1. Jayasingawarman, 358-382

2. Dharmayawarman, 382-395

3. Purnawarman, 395-434

4. Wisnuwarman, 434-455

5. Indrawarman, 455-515

6. Candrawarman, 515-535

7. Suryawarman, 535-561

8. Kertawarman, 561-628

9. Sudhawarman, 628-639

10. Hariwangsawarman, 639-640

11. Nagajayawarman, 640-666

12. Linggawarman, 666-669



Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)

2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)

3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)

4. Rakeyan Banga (739 - 766)

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)

6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)

7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)

8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)

9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)

10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)

11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)

12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)

13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)

14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)

15. Munding Ganawirya (964 - 973)

16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)

17. Brajawisésa (989 - 1012)

18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)

19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)

20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)

21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)

22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)

23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)

24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)

25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)

26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)

27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)

28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)

29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)

32. Prabu Bunisora (1357-1371)

33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)

34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)

35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)

36. Prabu Surawisésa (1521-1535)

37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)

38. Prabu Sakti (1543-1551)

39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)

40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)

Sumber:

- Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.

- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000

- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.

- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1

- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Sabtu, 07 Agustus 2010

LIRIK LAGU CEURIK RAHWANA

CEURIK RAHWANA

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo Kakang anu geulis

Da anu geulis

Kadieu sakeudeung geuwat

Engkang rek mere pepeling

Aduh geulis mere pepeling

Geura sambat indung bapa

Bilih kaduhung di ahir

Duh engkang romroman kalbu

Pupuja lahir jeung batin gusti

Lahir jeung batin

Aya naon pangersa tara tara tisasari

Aduh da tisasari

Nyauran ragrag cisoca

Abdimah saredih perih

Kaduhung kakang kaduhung

Kataji nu lain lain

Geulis nu lain lain

Kaiwat goda rancana

Kagendam ku sintawati

Geuningkieu karasana

Malindeus malika diri

CEURIK RAHWANA

Pencipta : Muhtadi, Ibu Saodah Harnadi N.

Lagam : Cianjuran

Laras : Madenda

Banon dari anu lucu

Bojo akang anu geulis…. Geulis….

Kadieu sakeudeung heula

Akang rek mere pepeling…. Aduh

Geura sambat indung bapa

Samemeh akang pinasti

Aduh enung anu ayu

Nu geulis pupujan ati…. Geuning….

Akang tangtu ngababatang

Samemeh akang pinasti… aduh

Aduh geulis … akang pinasti

Erek menta dihampura

Lahir tumekaning batin

Kaduhung akang kaduhung

Kataji nu lain lain.. geuning…

Kaiwat goda rancana

Kagembang ku sintawati…aduh…

Geuning kieu balukarna

Malindes balik ka diri

Banondari akang ampun

Rumasa geus nganyenyeri… geuning

Salawasna dikakaya

Nyandung geus puluhan kali…aduh…

CEURIK RAHWANA (2)

Maneh nu sabar tawekal

Doraka akang kabadi

Ayeuna tepung panungtung

Jeung akang moal panggih deui…geuning

Akang menta dihampura

Kaawak maneh nu geulis…aduh

Poma ulah rek gagabah

Mun boga salaki deui

Ulah milih anu weduk

Anu gagah rongkah sakti… geuning

Nu dugal sartabasangkal

Boga rasa ieu aing…aduh..

Lalanang dikolong jagat

Bakti manggulang mangguling

Nu weduk teu burung ajur

Nu sakti tanwande mati…geuning…

Nu dugal teu burung ajal

Da taya anu linuwih…aduh…

Sakumna mahluk di dunya

Wekasan nana mah sami